Oleh: Jamal Ma’mur Asmani
Islam akan menjulang tinggi ke angkasa sebagai agama yang membawa kemajuan Islam dan umatnya (‘izzul Islam wal muslimin) jika semua pilar-pilar utamanya berdiri tegak dengan kokoh. Jika ada salah satu pilarnya roboh atau keropos, maka sinyal kelemahan Islam akan terlihat. Menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk menegakkannya kembali. Selama ini, pilar-pilar utama Islam sudah berdiri kokoh, seperti shahadat(persaksian), shalat, puasa, dan haji. Hanya zakat yang kondisinya sangat mengkhawatirkan dan terancam roboh. Jika seluruh elemen Islam tidak bau membau menggerakkan kesadaran zakat, maka salah pilar utama Islam ini, akan roboh atau keropos.
Tanda-tanda kelemahan zakat di Indonesia dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, potensi zakat yang sangat besar belum terserap secara optimal, bahkan jauh di bawah standar. Hal ini tentu berbeda dengan haji yang harus menunggu sampai berpuluh-puluh tahun karena banyaknya orang-orang Islam yang antusias daftar haji dengan modal yang besar. Kedua, belum banyak lembaga zakat yang dikelola secara professional. Di antara sedikit lembaga yang professional dalam manajemen zakat adalah Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) dari pusat sampai daerah (kabupaten), Rumah Zakat Bandung, Lembaga Amil Zakat Infak Nahdlatul Ulama (Lazisnu), Dompet Dhu’afa Jakarta, Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) Jakarta, dan Dompet Peduli Umat Bandung.
Mayoritas lembaga-lembaga zakat, khususnya yang ada di daerah, dikelola secara sporadis, temporer, dan instan tanpa visi jauh ke depan. Ketiga, lemahnya kesadaran umat Islam untuk menyalurkan zakatnya karena penyakit kikir (bakhil) atau lemahnya umat Islam menyalurkan zakatnya di lembaga amil zakat. Banyak umat Islam yang menyalurkan zakatnya secara langsung tanpa lembaga amil zakat, sehingga dampak sosialnya tidak massif dan signifikan. Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dan Anwarul Masalik dijelaskan, jika dalam pembagian zakat tidak bisa merata (ta’mim al-ashnaf) kecuali dengan kolektif (jama’ah-musyarakah), maka wajib hukumnya menyalurkan zakat secara kolektif supaya merata. Dalam bahasa lain, jika distribusi zakat dilakukan secara kolektif, maka dampaknya sangat besar, yaitu mampu mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan dan kemajuan masyarakat dan bangsa.
Dalam konteks ini, maka tidak ada jalan lain untuk menegakkan zakat sebagai pilar utama Islam di bidang ekonomi dan sosial, kecuali melakukan langkah-langkah intens untuk mengatasi tiga kelemahan di atas. Pertama, dibutuhkan amil-amil zakat yang jujur (shidq), akuntabel (amanah), komunikatif dan interaktif (tabligh), dan professional-visioner (fathanah). Amil zakat harus mempunyai moralitas, kapabilitas, dan militansi yang tinggi dalam menggerakkan potensi zakat. Ia harus sosok yang anti korupsi, fleksibel, pantang menyerah, kreatif, inovatif, dan produktif dalam menggerakkan kesadaran zakat umat Islam. Amil zakat mempunyai tugas mendata muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat) dan mustahiq(orang yang berhak menerima zakat), mengumpulkan potensi zakat dari muzakki, menyalurkan dan mendayagunakan zakat kepada mustahik secara konsumtif dan produktif dengan manajemen professional.
Dalam hal ini, ketertiban administrasi menjadi keniscayaan, pelaporan menjadi kewajiban, networking menjadi krusial, dan pelayanan prima (excellent service) menjadi tidak bisa dielakkan. Untuk mencapai standar amil zakat seperti di atas, ide sertifikasi amil zakat sangat penting. FOZ (Forum Zakat) Nasional yang mewadani organisasi zakat seluruh Indonesia mengusulkan sertifikasi amil zakat supaya standar kompetensi amil zakat dapat terpenuhi dengan baik. Dalam hal ini, peran perguruan tinggi menjadi sangat krusial. Perguruan tinggi, khususnya yang mempunyai Program Studi (Prodi) Manajemen Zakat dan Wakaf harus mampu merumuskan kurikulum yang mampu membekali amil zakat suatu kompetensi ideal yang diharapkan, yaitu sebagai amil zakat yang mempunyai integritas, kapabilitas, loyalitas, akuntabilitas, dan spiritualitas supaya mampu menggerakkan potensi zakat secara optimal.
Kedua, sinergi antar lembaga zakat untuk saling belajar dan bekerjasama dengan menghilangkan ego lembaga dan sinergi dengan lembaga lain, khususnya pemerintah, dunia usaha, dan media. Optimalisasi penyerapan potensi zakat dan efektivitas pendayagunaannya tidak bisa terlaksana jika masing-masing lembaga zakat menonjolkan ego sektoralnya. Dalam hal ini, Baznas yang dibentuk oleh pemerintah harus bersinergi secara harmonis dengan FOZ yang merupakan asosiasi lembaga zakat swasta di seluruh Indonesia. Jika masing-masing lembaga zakat mementingkan ego sektoralnya, maka sulit mengharapkan zakat mampu tampil sebagai icon kebangkitan ekonomi umat dan bangsa.
Dunia usaha harus mendukung lembaga zakat dengan mengeluarkan zakat korporasinya. Media, baik cetak maupun elektronik, mempunyai peran signifikan dalam membangun opini publik supaya kesadaran umat dalam berzakat meningkat tajam, sehingga media harus betul-betul dimanfaatkan untuk mendukung gerakan sadar zakat secara nasional.
Ketiga, dukungan penuh tokoh agama, seperti tokoh organisasi masyarakat semisal Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kiai pesantren, muballigh (penceramah), dan lain-lain. NU dengan Lazisnu (Lembaga Amil Zakat Infak Sedekah Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah dengan Lazismu (Lembaga Amil Zakat Infak Sedekah Muhammadiyah) seyogianya menjadi contoh yang baik dalam manajemen pengelolaan zakat yang akuntabel dan professional.
Ketiga langkah ini diharapkan mampu menggerakan potensi zakat di Indonesia, sehingga zakat sebagai pilar utama Islam dalam bidang ekonomi dan sosial mampu menunjukkan peran signifikannya dalam mengentaskan kemiskinan umat dan mencapai keemasan Islam di bidang ekonomi dan sosial. Masing-masing umat Islam punya tanggungjawab memikul tanggungjawab besar ini demi izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan umatnya) sebagai kunci menggapai kejayaan bangsa tercinta.
*Ketua Program Studi Manajemen Zakat dan Wakaf Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati, Penulis Buku Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh (Quanta Gramedia 2015).
**Opini ini pernah terbit di Suara Merdeka, 29 April 2016.
0 Comments