Ada seabrek buku yang membahas tentang urgensi zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Umumnya buku-buku tersebut berupaya meyakinkan para pembaca bahwa terdapat hubungan saling mengikat antara kesalahen ritual dan sosial. Dipaparkanlah dalil-dalil dari teks suci, keteladanan para Rasul, hingga prospek kemanfaatan yang bakal diambil dari perilaku gemar berbagi itu. Jumlah buku semacam ini tampaknya kian banyak dan mungkin sedikit saja yang mengulas soal panduan praktis gerakan filantropi dan contoh hasil yang bisa menjadi inspirasi.
Buku Membumikan Sedekah: Belajar dari Cicurug Sukabumi adalah di antara yang sedikit itu. Buku yang disusun oleh sebuah tim NU Care-LAZISNU (Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama) ini menekankan tentang bagaimana kesadaran filantropi dibangkitkan, dikelola, lalu dikembalikan manfaatnya kepada masyarakat kampung. Para penerima manfaat bukanlah orang asing. Mereka adalah para penderma itu sendiri yang tiap hari menyedekahkan limaratus rupiah atau 2,5 persen dari penghasilan mereka.
Hasil yang kini terlihat luar biasa. Poliklinik ZIS seluas seribu meter persegi berdiri megah dari kantong umat sendiri. Begitu pula penyediaan ambulans jenazah dan orang sakit. Layanan kesehatan disediakan secara cuma-cuma, termasuk untuk para ibu yang menjalani proses persalinan. Di luar sektor kesehatan, manfaat yang terasa juga tampak di segi infrastruktur. Dana sedekah tersebut telah membuahkan ratusan lampu dan menerangi hampir seluruh sudut jalanan desa yang sebelumnya gelap gulita.
Belum lagi soal bantuan-bantuan sosial dan berbagai pembiayaan rutin untuk sejumlah fasilitas publik. Santunan diberikan kepada mereka yang benar-benar miskin, tak terkecuali para janda jompo. Sementara sejumlah ongkos rutin yang juga ditanggung meliputi listrik masjid, serta insentif untuk beberapa imam, marbot, dan guru ngaji. Semua dilakukan sepengetahuan dan atas persetujuan masyarakat setempat.
Di balik hasil yang gemilang tentu ada proses dan perjuangan. Demikian pula kemandirian masyarakat di desa-desa Kecamatan Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat itu. Kisah penggalangan partisipasi dana publik melalui zakat, infak, dan sedekah ini bermula dari uang Rp500 setiap kepala keluarga (KK) setiap RT setiap hari.
Angka 500 rupiah tak muncul sembarangan. Jumlah tersebut berasal dari hitung-hitungan rasional 2,5 persen rata-rata pendapatan harian penduduk Desa Nanggerang, Kecamatan Cicurug. Mereka yang mayoritas adalah buruh tani lepas berpenghasilan Rp20.000 per hari. “Kira-kira kalau diambil 500 rupiah per hari, apakah mengurangi jumlah nasi yang disuapkan ke keluarga? Apakah memberatkan?” Begitu tanya KHR Abdul Basith, inisiator gerakan sedekah ini, saat sosialisasi di sebuah majelis taklim. Jamaah menjawab, “Tidaaaak.” “Kalau begitu apakah berani diambil 500 rupiah per hari demi berbagi dan membangun desa?” Semua menyatakan berani.
Dari situlah kesadaran berderma dipupuk. Buya Basith, panggilan akrab ketua PCNU Sukabumi itu, sejatinya hendak mendidik masyarakat untuk belajar zakat sebelum nishab (batas minimum jumlah harta wajib zakat). Lima ratus rupiah memang sangat sedikit, namun saat itu dilakukan terus menerus, jumlahnya menjadi banyak. Karena sedikit adalah dasar dari yang banyak. Bukankah gunung yang besar itu terdiri dari kumpulan batu, tanah, dan krikil yang kecil?
Analogi tersebut menunjukkan kebenarannya. Uang recehan itu ditaruh di dalam toples setiap hari, untuk kemudian dipunguti tiap pekan oleh petugas khusus. Dari toples ke toples recehan selama setahun itulah terhimpun total dana yang cukup fantastis untuk ukuran masyarakat setempat. Sebagai contoh, untuk tahun 2016 lalu saja, Desa Nanggerang yang menjadi proyek percontohan desa-desa lainnya memperoleh pemasukkan sebesar 336 juta rupiah.
Kunci sukses dari jerih payah ini tak lepas dari kejelian para tokoh dan aktivis NU dalam melihat potensi kearifan lokal di sana. Di kalangan urang Sunda Sukabumi telah berkembang lama tradisi beas perelek. Beas atau beras yang dikumpulkan sepekan sekali dan dikumpulkan oleh salah seorang petugas yang berkeliling memanggul karung dari rumah ke rumah. Tradisi yang dilakukan mengantisipasi ancaman kekurangan stok pangan ini menjadi modal sosial bagi kebangkitan gerakan ZIS. Tradisi tak dihilangkan. Hanya saja kini meningkat intensitasnya dengan gerakan Rp500 saban hari, dan pemaknaan terhadapnya sebagai bagian dari kegiatan ibadah semakin tinggi.
Selain sinergi dengan pemerintah setempat, keberhasilan gerakan filantropi ini juga sangat dipengaruhi oleh manajemen pengelolaan yang tertata. Dewan pengurus dibentuk dengan melibatkan pengurus RT/RW dan tokoh masyarakat. Distribusi tugas, perencanaan, dan laporan-laporan dijalankan. Semuanya digerakkan secara profesional tanpa mengurangi semangat kerelawanan dan gotong royong para pengurus yang mengemban amanah. Juru sosialisasi dan pengurus ZIS juga dituntut memberikan keteladanan sebelum mengajarkan. Dengan demikian, sistem terbangun mapan, semangat berderma kian berkembang, dan target pun mudah diraih.
Pelajaran utama gerakan yang dipaparkan dalam buku Membumikan Sedekah: Belajar dari Cicurug Sukabumi bukan terletak pada jumlah uang yang terkumpul. Melainkan, seberapa besar kesuksesan membangun kesadaran untuk berbagi pada masyarakat itu dicapai. Karena yang paling inti dari sebuah gerakan filantropi adalah tumbuhnya empati, gotong royong, dan kepedulian antarsesama. Kasus di Sukabumi ini juga mengajarkan kita bahwa “hal kecil” yang dijalankan secara kontinu (istiqamah) dan berjamaah akan menjelma sebagai hal yang berdampak besar.
Sayangnya, buku ini belum menyuguhkan data secara rinci seputar kelemahan atau kendala yang dialami para aktivis yang menjalankan gerakan ZIS itu. Padahal, sebagai buku inspiratif, paparan detail tentang berbagai tantangan di lapangan akan menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja yang hendak melakukan hal serupa. Terlepas dari itu, buku NU Care-LAZISNU ini layak menjadi referensi bagi yang ingin mengetahui gairah berfilantropi yang sukses dan mengakar karena berangkat dari partisipasi masyarakat bawah (bottom up).
Data Buku:
Judul buku : Membumikan Sedekah: Belajar dari Cicurug Sukabumi
Penulis : Syamsul Huda, Nur Rohman, Amin Sudarsono
Penerbit : NU Care-LAZISNU, Cetakan I, 2017
Tebal : 180 halaman
Peresensi : Mahbib Khoiron, penikmat buku; tinggal di Jakarta
Source: nu.or.id
0 Comments