Gerakan filantropi pertama kali dilakukan pada tahun 1918 oleh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri,dan KH Masykur dengan menggalang 40 pengusaha. Mereka kemudian membentuk organisasi bernama Nahdlatut Tujjar.
“Pada saat itu masyarakat sangat antusias untuk mengumpulkan dana. Karena para kiai bergerak, sehingga terkumpul dana cukup besar. Gerakan filantropi nusantara yang digerakkan oleh para kiai mampu menarik para banker,” kata Ketua PBNU HM Sulthon Fatoni saat mengisi seminar nasioanl bertema Filantropi Islam Nusantara yang diselenggarakan oleh NU Care-LAZISNU di lantai 8 Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (2/2).
Seiring berjalannya waktu, gerakan yang dihimpun oleh para kiai tersebut tercium Belanda, sehingga pihak Belanda memberlakukan peraturan tentang koperasi yang harus berizin dengan mengenakan biaya yang sangat mahal. Di samping standar dan persyaratan lain yang harus dipenuhi.
Para kiai tidak mampu memenuhi persyaratan, termasuk dana minimal yang harus disetor ke pihak Belanda. Gerakan filantropi Nahdlatut Tujjar pada akhirnya tenggelam.
“Gerakan filantropi koperasi saat itu memang yang harus dirambah, karena zakat, sedekah, dan infaq sudah jalan,” katanya.
Selanjutnya di awal tahun 1920, Mbah Hasyim mengutus Kiai Wahab menemui Kiai Nawawi Sidogiri untuk berkonsultasi tentang pendirian organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Dari pertemuan itu, para kiai berkumpul di Masjid Jami’ Kota Pasuruan kemudian terbesit ayat Al Qur’an Lamasjidun Ussisa ‘alat Taqwa.
“Jadi perkumpulan NU, perkumpulan para kiai kita sepakat asalkan gerakan perkumpulan ini nanti tidak berbasiskan finansial, tidak bermisi profit. Maka lahir NU,” terangnya.
Sebagaimana ditegaskan Mbah Hasim dalam Risalah Ahlussunnah Waljamah tahun 1928 bahwa NU adalah organasiasi yang bermisi memberikan keadilan, memberikan perlindungan, meningkatkan kualitas hidup, dan mendorong agar masyarakat makmur.
“Gedung yang kita tempati ini (Gedung PBNU), bukan dari bisnis, tapi gedung ini dibangun dengan semangat filantropi. Semuanya terlibat, kaya, miskin, muslim, dan non muslim di era Gus Dur,” terang pria yang juga menjabat sebagai wakil rektor II Unusia ini.
@nu.or.id
0 Comments